Malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Semilir angin malam menelusup membuat tulang belulang gadis itu terasa begitu ngilu. Ia memandang langit malam yang telah membersihkan wajahnya dari bintang-bintang, mengayunkan pelan kakinya yang menggantung beberapa senti di atas tanah. Terduduk, berpikir, merenung. Memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan selanjutnya.
Tangannya telah merenggut nyawa seseorang yang sangat ia kenal dengan
baik beberapa hari yang lalu. Wajahnya telah terpampang di surat kabar bahkan
di pengumuman resmi yang ada di pinggiran jalan sebagai seorang buronan. Kini
ia tak memiliki tempat yang aman untuk menyembunyikan dirinya. Dinyalakannya
sebatang rokok untuk memberikan kehangatan pada tubuhnya.
***
Alena meludahi wajah gadis yang telah tersungkur di bawah kakinya.
Tanpa ampun ia terus menghajar gadis itu hingga babak belur. Gadis itu terus
meronta memanggil nama Ian berulang kali untuk meminta bantuan, membuat hati
Alena semakin geram.
“Alena apa yang kau lakukan?” Bentak Ian begitu melihat kekasihnya tak
berdaya di bawah kaki Alena. Alena segera menjauhkan kakinya dari gadis itu.
“Ian, aku punya berita bagus untukmu, sayang.” Kata Alena begitu
melihat lelaki yang dicintainya itu berjalan ke arahnya.
“Leah, apa yang terjadi?” Tanya Ian panik pada kekasihnya. Ia tak acuh
pada kehadiran Alena dan membantu Leah berdiri.
“Sayang, tidakkah kau ingin menyentuh anakmu disini?” Alena membelai
perutnya yang sedikit membuncit, mencoba merebut perhatian Ian. Namun Ian tetap
tak menggubris Alena. “Ian, aku hamil. Disini ada anakmu, sayang.” Kata Alena
yang nyaris putus asa karena sudah dua bulan ia tak dapat menemui bahkan
menghubungi Ian.
“Persetan dengan anak itu, Alena. Gugurkan dia dan jangan temui aku
lagi!” Bentak Ian penuh amarah. “Aku tak mau melihatmu lagi! Jangan pernah
injakkan kakimu ke rumahku. Jika sekali lagi kau menyentuh Leah, aku akan
membuat perhitungan denganmu!” Lanjut Ian
ketika Alena hendak membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Saat itu juga Alena
menelan kembali kata-kata yang hendak ia ucapkan, mencoba menahan emosinya di
hadapan Ian.
“Ian–“
“Keluar Alena!” Teriakan Ian telah menghancurkan hati gadis itu, air
mata mengalir dari sudut matanya. Alena melangkah gontai keluar dari ruangan
tersebut, namun sekeranjang apel merah menarik perhatiannya. Ia melangkah
mendekat dan mengambil sebilah pisau yang berada tepat di atas tumpukan apel
tersebut, lalu memutar langkahnya kembali.
“Kau tak akan pernah melihatku lagi Ian, tidak juga anakmu!” Alena
menghujamkan pisau tersebut berkali-kali ke tubuh Ian hingga lelaki itu
tergeletak berlumuran darah. Leah berteriak kencang melihat kekasihnya terbunuh
di depan matanya. Rupanya teriakan Leah menyadarkan Alena atas apa yang telah
diperbuatnya. Tubuhnya gemetar ketakutan, tangannya menjatuhkan pisau tersebut
dan melangkahkan kakinya menjauh dari mimpi buruknya.
***
“Apa yang kau lakukan disini cantik?” Kata seorang pria dengan rambut
gondrongnya yang berantakan. Alena terus menghisap rokoknya tanpa mengacuhkan beberapa
lelaki dihadapannya, mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Bukan karena ia
berani, justru itu ia lakukan karena ia ketakutan.
“Kenapa kau sombong sekali? Apa kau tuli? Atau kau bisu?” Sahut lelaki
lainnya yang mulai berani menyentuh pundak Alena.
Untuk terakhir kalinya Alena menghisap rokoknya, kemudian membuang
puntungnya. Ia segera berdiri, membetulkan kardigannya kemudian melangkah
menjauh dari gerombolan berandalan tersebut seolah tak ada siapapun yang
menghadangnya. Begitu ia merasa sedikit terbebas ia segera berlari menjauh,
lingkungan yang sepi membuatnya tak punya pilihan lain selain memacu langkahnya
sekencang mungkin.
“Ah– maafkan aku.” Alena tak sengaja menabrak seseorang. Lelaki berperawakan gagah
dengan cambang tipis di wajahnya. “Aku mohon, tolonglah aku, aku dikejar oleh
beberapa berandalan di sana.” Kata Alena disela nafasnya yang tersengal.
“Tentu saja, nona.” Kata lelaki dihadapannya dengan sebelah tangannya
yang mendekap empat botol bir sekaligus. Ketika Alena hendak melanjutkan
langkahnya, sebelah tangan lelaki itu menggapai jemari Alena untuk menahannya.
“Axel, apa kau mau memonopolinya sendirian?” Teriak lelaki bertubuh
gelap dengan anting yang berjajar di sebelah telinganya.
“Ayolah kawan, lihat gadis ini. Kenapa kau tak memiliki hati nurani
pada gadis ini?” Bujuk Axel. “Bukankah aku sudah menyuruh kalian menungguku di
tempat biasa? Kenapa kalian malah lari-larian mengejar-ngejar seorang gadis?
Memalukan.”
“Dia menempati tempat kita. Kau dan bir itu terlalu lama. Jadi kami
bermain-main sebentar.” Seorang lagi dengan wajah penuh jerawat menanggapi.
Alena yang menyadari bahwa ia telah meminta tolong pada orang yang salah
berusaha meronta, namun Axel tetap menggenggam tangan Alena dengan erat.
“Ambil ini, kalian duluan saja. Aku akan segera menyusul kalian.” Kata
Axel. Dua orang dari gerombolan berandalan itu melangkah, mengambil bir dari
tangan Axel. Kemudian meninggalkan Alena bersama Axel.
Axel menatap lekat-lekat gadis di sampingnya, wajahnya begitu pucat
dan kurus. Hanya mengenakan kaos dengan kardigan dan jeans serta sneaker kumal
yang melindungi kakinya. Axel mengerutkan dahinya sambil terus mengawasi gadis
itu.
“Aku tak pernah melihatmu disini.” Axel sedikit menunduk untuk
mengamati setiap detail wajah Alena. Alena sedikit menjauh dengan defensif. Ia
masih ketakutan dengan kenyataan bahwa lelaki ini adalah teman dari para
berandalan yang mengganggunya.
“Aku dari luar kota.” Alena mencoba menanggapi. “Ini pertama kalinya
aku kesini.” Imbuhnya.
“Siapa namamu? Kau mau kemana?” Pertanyaan Axel membuat Alena terdiam.
Mau kemana? Alena sadar ini sudah
larut malam dan ia tak punya tempat tujuan. Axel kembali mengulangi
pertanyaannya.
“A– aku Alena.” Axel menaikkan alisnya, menuntut jawaban lebih untuk
pertanyaannya. “Aku tak punya tempat tujuan.” Suara Alena semakin pelan saat
mengucapkan kalimat terakhirnya. Axel membelalakkan mata tak percaya.
“Kau gila Alena. Ini sudah jam dua, dan kau masih berkeliaran sendirian
tanpa tujuan?” Axel meyakinkan jawaban Alena. Gadis itu mengangguk pelan. Axel
menggelengkan kepalanya, mencoba mencari solusi untuk gadis yang baru
dikenalnya itu. Tanpa pikir panjang, Axel mengajak Alena pulang ke rumahnya, membiarkan
gadis itu beristirahat dan ia pun kembali bersama teman-temannya.
***
Matahari nampaknya telah meninggi tanpa menunggu Alena menikmati
paginya. Cahayanya begitu menyengat menembus gorden tipis berwarna krem yang
sedikit kusam. Alena membuka matanya perlahan, melihat jam yang melingkar di
tangannya. Jam sebelas. Ini sudah tengah hari, begitu tidak pantasnya jika
Alena menumpang dan bangun ketika matahari hampir mencapai puncak.
Aroma tembakau masih semerbak memenuhi ruangan yang didominasi biru
gelap itu. Sebuah foto perempuan yang sangat cantik dengan rambut pirangnya
yang terurai panjang, menggendong seorang lelaki berusia tiga atau empat tahun
tergantung di salah satu sisi kamar itu. Alena segera menghalau rasa
penasarannya tentang foto itu, bergegas merapikan dirinya dan membuka pintu
bercat hitam di hadapannya untuk segera menemukan sang pemilik rumah.
Lelaki itu masih tertidur di atas karpet, memeluk sebuah botol kosong
di tangannya. Alena berdiri memperhatikan lelaki itu, ia teringat artis Prancis
yang tenar tahun tujuh puluhan, Franky Blanc. Ibu Alena sangat tergila-gila
pada ketampanannya yang sempurna, namun sayang, mendadak ia menghilang dari
dunia hiburan.
“Sudah?” Suara lelaki mengagetkan Alena yang masih tenggelam dalam
lamunannya. Alena sedikit memiringkan kepalanya memperhatikan lelaki di
depannya yang masih terpejam. Mungkin
mengigau, batin Alena.
“Sudah, jangan melihati aku seperti itu, aku tahu aku memang mempesona.”
Kata Axel dengan mata yang masih terpejam dan bibirnya yang menyunggingkan
senyum. Alena semakin bingung, hingga lelaki itu mencoba membuka matanya.
Lelaki itu bergegas berdiri dengan melangkah sempoyongan hingga
menabrak dinding tepat disamping pintu kamar mandi. Dia masih mabuk, pikir Alena. Sudah satu jam lebih lelaki itu
berdiam di kamar mandi, entah dia pingsan atau tertidur. Sepuluh menit kemudian
barulah terdengar guyuran air.
“Maaf, aku tertidur di dalam.” Kata Axel sambil mengelap wajah dan
rambutnya yang basah dengan handuk. Rupanya lelaki itu telah mencukur habis
cambangnya, terlihat lebih muda dibanding satu jam yang lalu. “Lalu setelah ini
kau mau kemana?” Lanjut Axel penasaran.
Alena menggigit bibirnya. Ia tak punya jawaban untuk pertanyaan Axel.
“Aku belum punya tujuan.”
Axel menghentikan kegiatannya. “Kau jangan bercanda, sebenarnya ada
apa? Kenapa kau senekat ini?”
“Aku kabur dari rumah, aku– aku berdosa pada pacarku.” Air mata
kembali menggenangi mata Alena.
“Kenapa?”
“Karena dia menjadikanku selingkuhannya.” Air matanya tak lagi
terbendung. Alena mengusap air matanya dengan segera. Menahan isakannya agar
tak terdengar seperti gadis cengeng.
“Mandilah, aku akan menyiapkan pakaian untukmu.” Axel beranjak menuju
ke kamarnya. Kamarnya terlihat jauh lebih rapi setelah Alena menempatinya. Ia
tersenyum memandang foto wanita yang terpajang di dindingnya. “Aku pinjam
bajumu sebentar.” Kata Axel sambil mengedipkan sebelah matanya.
Alena menerima sebuah terusan pendek dari Axel. Pakaian yang unik,
yang sempat tren di tahun delapan puluhan. Alena pun melepas kaosnya dan
berdiri di depan sebuah cermin yang menempel pada pintu lemari di kamar Axel.
Ia membelai perutnya yang semakin membuncit.
“Maafkan mama sayang, gara-gara mama kau tidak punya papa. Bertahan ya,
mama akan berusaha untukmu.” Ujar Alena tersenyum simpul. Kemudian segera ia
kenakan terusan berwarna peach
tersebut.
Axel tenggelam dalam pikirannya, setelah menyaksikan perut Alena yang
mulai membuncit dan mencerna kata-kata yang didengarnya dari mulut Alena. Ia
tahu apa yang ia lakukan tidaklah sopan. Tapi sudah sangat lama ia tak pernah
dekat dengan wanita manapun dan naluri kelaki-lakiannya memaksa muncul di saat
yang tidak tepat.
Axel segera menjauh begitu melihat Alena berjalan ke arah pintu.
Lelaki itu menyalakan sebatang rokok yang diapit dengan dua jarinya.
“Kau cantik memakainya.” Puji Axel tulus.
“Sedikit terlalu panjang.” Alena sedikit mengangkat roknya. “Ini milik
em– istrimu yang di foto itu?” Tanya Alena ragu. Axel terdiam. Raut wajahnya
berubah serius, namun sedetik kemudian tawa geli keluar dari mulutnya.
“Alena, itu ibuku. Cantik bukan? Jika aku sudah beristri, aku tak
mungkin membiarkanmu menginap disini.” Axel kembali tertawa. Tawanya begitu
menular, membuat Alena ikut tertawa bersamanya dan sejenak melupakan
kesedihannya. “Nenekku orang Perancis, tapi darah ibuku sudah bercampur dengan darah
Indonesia. Lalu– ah, Alena, tunggu disini sebentar. Aku akan kembali secepatnya.”
Seru Axel memotong ceritanya.
Setengah jam kemudian Axel kembali dengan membawa dua bungkus makanan.
“Makanlah, anakmu butuh makan.” Kata Axel menyodorkan bungkusan nasi pada
Alena.
Alena membelalakkan matanya, terkejut pada ucapan Axel. “Kau tahu?”
Alena memastikan.
“Perutmu sudah mulai membesar.” Ujar Axel. “Jika kau tak punya tempat
tujuan, kau bisa tinggal disini sementara waktu. Kau bisa gunakan kamarku. Aku
jarang ada di rumah.” Axel menawarkan. Alena terdiam sejenak, mulai memikirkan
tawaran Axel, hingga akhirnya menyetujui tawaran tersebut.
***
Sudah seminggu Alena tinggal di rumah Axel. Memasak, mencuci,
membersihkan rumah, semua dilakukan Alena sebagai bentuk terima kasih Alena
pada Axel. Axel selalu pulang menjelang pagi dalam kondisi mabuk.
Malam itu pintu digedor dengan keras membuat Alena terperanjat. Jam
menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak pernah sebelumnya Axel pulang secepat
ini. Dengan ragu, Alena membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia menatap lelaki
yang kini berdiri di depan pintu.
“Axel, ada apa denganmu?” Tanya Alena khawatir. Axel menyematkan
seulas senyum di antara wajahnya yang babak belur.
“Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.” Axel menyentuh wajah Alena
lembut, membuat wajah gadis itu merona. Namun sesaat kemudian, bau alkohol yang
begitu menyengat keluar dari mulut Axel membuat Alena menyadari sesuatu. Lelaki itu mabuk. Axel melangkah
sempoyongan menuju kamarnya. Alena mengambil air dan mencoba membersihkan
luka-luka di wajah Axel.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Axel?” Tanya Alena sambil membersihkan
luka-luka itu perlahan.
Axel meringis kesakitan ketika kapas di tangan Alena menyentuh
lukanya. “Hanya sedikit ada masalah dengan seseorang. Tak perlu khawatir.”
“Jangan seperti ini lagi. Kau menakutiku.” Kata Alena lembut. Axel
menggenggam tangan Alena, menarik gadis itu untuk lebih mendekat. Kemudian Axel
menempelkan bibirnya pada bibir Alena, menciumnya dengan lembut.
“Tidurlah, aku akan tidur di luar.” Kata Alena gugup dan segera keluar
dari kamar Axel. Untuk pertama kalinya Alena menyadari mata Axel yang berwarna abu-abu
terlihat begitu teduh dan lembut. Alena menggeleng tidak ingin membiarkan
dirinya terbuai dalam pesona Axel.
Wajah Alena terasa memanas mengingat kejadian itu. Jantungnya terus
menerus berdetak kencang hingga ia bisa mendengar detaknya dalam keheningan. Alena
menyalakan sebatang rokok untuk menjernihkan pikirannya. Tetapi pikiran Alena
semakin tak karuan, hingga ia memutuskan secepatnya ia harus mencari rumah agar
kejadian ini tak terulang.
Sepanjang malam Alena tak mampu mengistirahatkan matanya hingga cahaya
perlahan mulai menerobos jendela kaca rumah Axel. Ia telah memutuskan untuk
keluar dari rumah sebelum Axel bangun dan segera mencari tempat tinggal.
Seharian ia berkeliling untuk mencari tempat tinggal, namun hasilnya
nihil. Akhirnya sebelum senja Alena memutuskan untuk kembali ke rumah Axel.
Alena terkejut melihat Axel masih berada di rumah saat ia membuka pintu.
“Dari mana kau?” Tanya Axel yang terlihat gusar.
“A– aku mencari tempat tinggal.” Kata Alena gugup.
“Kenapa? Kau bisa tinggal disini Alena. Apa karena rumah ini tak
layak?”
“Tidak… Tidak, bukan seperti itu Axel. Semalam kau mabuk. Aku– kau– ”
Kata Alena terbata-bata tanpa menyelesaikan kalimatnya. Ia bingung harus
memulainya dari mana. Beruntung Axel segera menyadari apa yang dikatakan Alena.
“Alena, aku menyadari apa yang ku lakukan. Tinggallah disini Alena.
Aku akan membantumu membesarkan anakmu.” Kata Axel dengan lembut.
“Tapi–“
“Aku mencintaimu Alena.” Axel menyatakan perasaannya sebelum Alena
menyelesaikan kata-katanya. Alena membungkam mulutnya dengan kedua tangannya.
Ia terkejut dengan pernyataan Axel. Perasaan bahagia menyelimuti hati Alena yang
sebelumnya telah menyimpan perasaannya pada Axel.
Sejak itu kedekatan mulai terjalin di antara mereka, semakin lama
perut Alena semakin membuncit dengan gadis yang tumbuh sehat di dalamnya. Axel
yang berandalan semakin berubah seiring bertambahnya usia kandungan Alena.
Sebelum jam dua belas, Axel sudah berada di rumah dan hanya sesekali ia pulang
dengan bau alkohol di mulutnya.
“Axel.. Axel.. Axel, tolong aku.” Jerit Alena yang meringkuk di atas
ranjang. Alena terus memanggil nama Axel. Axel yang masih tertidur segera
berjingkat menuju ke kamar begitu mendengar teriakan Alena. Ia terperangah
melihat wajah Alena yang tengah menahan kesakitan dengan darah yang merembes di
pakaiannya.
“Alena, apa yang harus aku lakukan?” Tanya Axel yang sedang panik saat
melihat Alena.
“Panggil seseorang, Axel. Cepat.” Axel pun beringsut, segera berlari mencari bantuan.
Dalam kurun waktu satu jam, seorang gadis mungil dengan tangisannya
yang melengking telah hadir ke dunia. Axel mendesah lega setelah sekian lama
mencoba menulikan telinganya dari teriakan gadis yang amat dicintainya itu.
Genggaman tangan Alena perlahan melemah, diiringi dengan senyuman bahagia yang terurai
di wajah pucatnya.
Sebulan telah berlalu setelah kehadiran Selena, gadis mungil yang
namanya diambil dari nama Axel dan Alena. Axel tampak seperti seorang ayah baru
yang begitu mencintai anak gadisnya. Seharusnya Ian lah yang ada di posisi Axel
sekarang. Namun Alena bersyukur Axel bisa menerima dirinya dan gadis kecilnya
bahkan Axel menyayangi Selena seperti ayahnya sendiri.
“Alena, tolong.” Teriak Axel membuat Alena panik. “Selena.. Kurasa dia
pup.” Kata Axel jijik. Alena tertawa
melihat ekspresi jijik Axel. Alena segera mengambil alih Selena dari tangan
Axel dan Axel terus menutup hidungnya saat Alena mengganti popok Selena.
“Alena, apa kau tahu aku sangat mencintai kalian berdua?” Kata Axel
tiba-tiba sambil memandang Alena yang masih sibuk mengganti popok Selena.
“Aku tahu.” Jawab Alena lembut.
“Aku ingin kita membentuk satu keluarga.” Ujar Axel.
“Apa kau serius, Axel?”
Axel mengangguk mantap. “Tentu saja. Alena, maukah kau menikah
denganku dan kita besarkan Selena bersama-sama?”
Alena melebarkan senyumnya. Begitu cerah, secerah cuaca pagi ini. Apalagi
dengan ditemani dua orang yang akan selalu menjadi semangat hidupnya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D