Seorang lelaki sedang duduk dalam
keheningan di tengah ramainya pengunjung restoran. Suara dentingan sendok garpu
yang beradu dengan piring, juga dengungan obrolan selepas makan siang tidak
sedikit pun mampu mengusir kemasygulan dari wajah lelaki itu.
Asap rokok membumbung saat lelaki itu
mengembuskannya melalui bibirnya. Sebenarnya, ia tahu bahwa restoran ini
melarang pengunjungnya untuk merokok di dalam ruangan. Tapi lelaki itu tidak
peduli. Terlebih ia mengenal baik pemilik restoran ini.
“Martin, bukankah kau bisa melihat tanda
dilarang merokok yang ditempel di dinding restoran ini?”
Terdengar suara seorang gadis tengah
menegur lelaki bernama Martin itu. Tidak perlu menolehkan kepalanya, Martin
tahu siapa gadis itu. Ia sangat mengenal suara gadis cerewet yang merupakan
adik dari sahabatnya sang pemiliki restoran ini.
Martin menyesap tetes terakhir kopi
hitamnya yang sudah dingin. Lalu lelaki itu melemparkan puntung rokoknya ke
dalam cangkir kopi itu. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri menjulang di
hadapan gadis yang menegurnya.
“Tidak perlu mengomel, gadis cantik. Aku
sudah selesai,” kata Martin sambil tersenyum merayu.
Tapi gadis itu malah memberengut dan sama
sekali tidak tergoda pada senyuman Martin. Bukan karena Martin tidak cukup
tampan untuk merayu gadis seperti dirinya. Melainkan karena ia sudah sangat
mengenal sikap sahabat dekat kakaknya yang satu ini. Lelaki flamboyan yang
gemar tebar pesona pada setiap gadis yang temuinya.
“Aku akan pulang sekarang. Sampaikan
salamku untuk kakakmu.” Martin berjalan meninggalkan gadis itu lalu pergi
menuju kasir untuk membayar secangkir kopi yang diminumnya. Sebelum keluar dari
restoran itu, ia masih sempat melontarkan rayuan kepada seorang waitress.
Martin berdiri di depan pintu masuk
restoran itu sambil menyalakan satu batang rokok lagi. Hujan deras memang baru
saja berhenti beberapa saat yang lalu. Tapi hujan masih meninggalkan jejak
basah dan genangan air di jalanan.
Sebenarnya Martin datang ke restoran hanya
untuk menemui sahabatnya. Tapi ternyata lelaki itu sedang pergi dengan
kekasihnya untuk fitting pakaian
pernikahan mereka. Martin sedikit merasa kecewa karena ia tidak lagi bisa
menemui sahabatnya itu sesuka hati.
Sebelum bertemu dengan kekasihnya itu,
sahabat Martin bukanlah lelaki yang seperti itu. Ia lebih tampak seperti robot
yang terus bekerja setiap saat demi membesarkan nama restorannya. Tidak peduli
dengan hal lain, apalagi memikirkan seorang gadis untuk menjadi pasangannya. Hanya
adik perempuannya dan Martin yang peduli untuk mengingatkan lelaki itu agar
tidak mengabaikan kesehatannya sendiri.
Dan kini Martin merasa begitu iri.
Bagaimana mungkin sahabatnya itu bisa dengan mudah menemukan cinta sejati? Sementara
Martin yang cukup dekat dengan banyak gadis cantik, sampai saat ini tidak
pernah bertemu dengan cinta sejatinya. Tidak ada satu pun di antara para gadis
itu yang membuat Martin jatuh cinta.
Martin melangkahkan kakinya menjauhi restoran
itu. Sengaja ia meninggalkan mobilnya di latar parkir restoran yang tampak
penuh. Saat ini Martin hanya ingin berjalan-jalan sebentar menikmati suasana
setelah hujan.
Titik-titik hujan bergayut pada ujung
ranting dan daun. Aroma tanah setelah hujan menguar di udara seperti aroma
tubuh bidadari. Martin terus berjalan sambil memenuhi paru-parunya dengan aroma
itu, mencoba menggantikan asap rokok yang menempel erat di paru-parunya.
Gedebuk!
Tiba-tiba sebuah bunyi benda jatuh membentur
sesuatu, yang disusul pekikan seorang gadis. Dengan cepat kepala Martin menoleh
dan mendapati seorang gadis tengah jatuh terduduk di atas jalan ber-paving yang basah. Ia menghampiri gadis
itu lalu mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu berdiri.
Hanya dengan sekali lihat, Martin sudah
bisa memutuskan bahwa gadis ini sangat cantik. Sebuah terusan berwarna ungu gelap
yang dikenakannya terlihat kontras dengan kulitnya yang cerah berkilau itu. Rambut
hitam panjangnya bergelombang sampai punggung. Pipinya merona dan matanya yang
cantik dengan bulu mata lentik saat ini tengah menatap uluran tangan Martin.
Detik berikutnya gadis itu sudah menyambut
uluran tangan Martin. Dan sekarang mereka tengah berdiri berhadapan. Tapi gadis
itu tampak terperangah saat menatap wajah lelaki yang menolongnya.
“Martin?”
Siapa
gadis ini? Alis Martin
terangkat. Bagaimana bisa gadis ini mengenal dirinya? Martin berusaha mencari
memori akan sosok gadis ini. Tapi otaknya tidak menghasilkan apapun. Sangat tidak
mungkin ia melewatkan gadis secantik ini dalam hidupnya.
Atau mungkin saja gadis ini seorang
bidadari yang dikirim dari kahyangan untuk dirinya. Apa doanya untuk segera
bertemu dengan cinta sejatinya sudah didengar dan dikabulkan? Dan mungkin saja
tidak ada satupun gadis di dunia ini yang cukup pantas mendampingi Martin,
sehingga bidadari ini dikirim jatuh ke bumi demi dirinya.
“Kau Martin, kan?”
Gumaman gadis itu menarik Martin dari
dalam khayalannya tentang bidadari.
“Apa kau seorang bidadari?” tanya Martin
menyuarakan khayalannya. Dadanya terasa berdebar-debar.
Gadis itu tergelak lalu bertanya, “Apa kau
lupa padaku, Martin?”
Martin terpaku menatap ke arah gadis itu.
Ia merasa begitu terpana hingga tidak mampu berkata-kata. Padahal biasanya
selalu ada kata-kata rayuan yang bisa ia lontarkan kepada seorang gadis. Tapi
tidak untuk gadis ini.
“Aku Melina. Kau ingat?”
Melina.
Melina. Melina. Martin
mengulang nama itu berkali-kali dalam hatinya hingga sebuah ingatan menariknya
ke masa lalu. Pada sosok seorang gadis kecil teman sebangkunya di Sekolah
Dasar. Rambutnya pendek, sifatnya tomboi, sehingga lebih tampak seperti seorang
anak laki-laki. Mereka sering menghabiskan waktu untuk bermain di kubangan
lumpur, menangkap capung, bahkan bertengkar seperti adegan gulat di televisi.
Hingga suatu hari anak itu harus pindah ke kota lain saat naik ke kelas enam.
Dan gadis itu merupakan cinta pertama Martin.
Sambil berusaha meredam debaran jantungnya
yang lebih cepat dari biasanya, Martin menatap ke arah Melina. Tidak pernah
satu kalipun Martin membayangkan bahwa Melina akan berubah menjadi begitu
feminin. Gadis ini tampak sangat... cantik.
Tuk! Melina memukul puncak kepala Martin
sehingga lelaki itu mengaduh kesakitan.
“Kenapa kau malah melamun? Apa kau
terpesona karena aku terlihat lebih cantik sekarang?” tanya Melina sambil
tertawa.
Buru-buru Martin memasang ekspresi malas
untuk menutupi kekagumannya pada Melina. “Aku pikir kau sudah sepenuhnya
menjadi seorang gadis feminin. Ternyata hanya penampilan luarmu saja yang
berubah. Lagi pula penampilan seperti ini tidak cocok untukmu.”
Gadis itu tampak terperangah mendengar
komentar Martin. “Sampai kapan kau mau terus mengolok-olokku?” tanya Melina
sambil memukul lengan Martin.
Tapi entah kenapa, diam-diam Martin merasa
bersyukur karena sifat Melina tidak ikut berubah. Masih sama seperti terakhir
kali mereka bertemu. Sama seperti Melina yang ia kenal dan membuatnya jatuh
cinta.
“Apa kau ada waktu? Kita bisa pergi makan
siang bersama di restoran dekat sini.” Melina menyebutkan nama restoran yang
tadi baru saja dikunjungi Martin. “Kita rayakan pertemuan kita kembali.”
“Kebetulan aku juga mau pergi ke restoran
itu.” Tentu saja. Mobil Martin masih diparkir di sana. Lagi pula ia tidak
mungkin melewatkan kesempatan emas seperti ini. “Restoran itu milik sahabatku.
Aku sering makan siang di sana.”
“Wah, apa kau sering mendapatkan makan
gratis?” tanya Melina sambil mulai melangkah. Kali ini ia harus lebih hati-hati.
Ia memang belum terbiasa berjalan menggunakan sepatu hak tinggi di atas jalan
yang basah.
“Sayangnya, tidak. Dia lelaki yang keras
dan disiplin,” kata Martin dengan ekspresi yang dibuat kecewa. “Tapi biarkan
aku mentraktirmu siang ini untuk merayakan pertemuan kita. Bagaimana?”
“Setuju!” Melina berseru dengan lantang.
***
Martin berjalan memasuki sebuah gerbang
tinggi berwarna putih yang terletak tidak jauh dari restoran milik sahabatnya. Sebuah
bangunan berdiri kokoh di balik gerbang itu. Ada seorang wanita berwajah
keibuan menyambut Martin dengan ramah. Wanita itu menanyakan keperluan Martin
datang ke panti asuhan ini. Begitu Martin
menyebut nama Melina, wanita itu tersenyum lalu mengantarkan Martin ke sebuah
ruangan.
Terdengar bunyi alunan melodi dari balik
pintu di hadapan Martin, membuat lelaki itu merasa tertarik untuk membuka pintu
kayu itu dan melangkah masuk. Ia ingin melihat siapa pemilik tangan yang begitu
mahir memainkan piano ini.
Begitu memasuki ruangan yang cukup luas
itu, Martin langsung melihat sekumpulan anak-anak yang tengah mengelilingi
piano yang berada di tengah ruangan. Mereka tampak sangat asyik hingga tidak
menyadari kehadiran Martin di sana. Seorang lelaki yang cukup tampan —walaupun menurut Martin tidak lebih tampan
dari dirinya—
sedang menekan tuts-tuts piano hingga menghasilkan melodi ceria yang diiringi
nyanyian sumbang dari anak-anak di sekelilingnya. Dan di samping piano itu
seorang gadis tengah berdiri sambil ikut bernyanyi. Jemarinya yang halus
menggenggam tangan kecil anak-anak di samping kiri dan kanannya.
Melina.
Mata Martin tidak bisa lepas dari sosok
gadis itu, memuji kecantikan bak bidadari yang dimiliki Melina. Entah mengapa
gadis itu tampak semakin mempesona. Dan demi alasan yang tidak dimengerti
olehnya, Martin merasa ia ingin selalu melihat gadis itu.
Pipi gadis itu tampak sedikit merona. Dan
sikap gadis itu tampak sedikit berbeda dari biasanya. Matanya tampak terus
berpusat pada sosok lelaki yang tengah memainkan piano itu. Setengah mati
Martin berusaha meyakinkan diri bahwa sorot mata Melina hanya berupa kekaguman
bukan kerinduan. Tapi entah mengapa kegelisahan itu tidak mau pergi. Seolah sengaja
mencuri sebagian tempat di dalam dada Martin.
Mungkinkah Melina mengubah penampilannya
demi lelaki itu? Sebuah dugaan muncul di benak Martin, membuat ia bergedik atas
pikirannya sendiri. Secepatnya ia harus merebut
hati Melina dari lelaki manapun.
Lelaki itu berhenti memainkan piano,
bangkit dari duduknya, lalu mempersilakan Melina untuk menggantikan posisinya.
Gadis itu tersenyum malu-malu sambil sedikit melirik ke arah lelaki itu. Ia
meregangkan jemarinya lalu membiarkan jemari-jemari itu menari di atas tuts-tuts
piano. Nada-nada ceria kembali mengalun di udara.
Melina menekan nada terakhirnya dengan
sentuhan ringan pada tuts piano. Gadis itu menengadahkan kepala lalu tersenyum
saat pekikan ceria dan riuh tepuk tangan-tangan kecil menyambutnya. Ekspresi
wajah gadis itu tampak sangat bahagia saat lelaki di sampingnya memuji
permainan pianonya.
“Melina.”
Martin menyebut nama gadis itu. Suaranya
terdengar lantang dan sedikit memburu. Tidak mudah bagi lelaki seperti Martin
untuk menekan perasaannya yang membuncah.
Melina tersentak dan menoleh ke arah
Martin yang tengah berdiri di samping pintu. Sesaat setelah pandangan mereka
bertemu, Melina menarik tangannya dari atas piano lalu bangkit dari duduknya.
“Martin? Kau jadi datang rupanya.” Gadis
itu terdengar sedikit gugup. “Apa kau sudah lama menunggu di situ?”
“Tidak juga.” Terasa lama karena aku harus melihatmu tersipu-sipu oleh lelaki lain,
batin Martin. “Tapi aku senang karena bisa mendengarmu bermain piano.”
Melina mengajak Martin masuk ke dalam
kerumunan anak-anak kecil itu. Seorang anak tersenyum memperlihatkan gigi
depannya yang ompong. Tangannya terulur dan ia menyebutkan namanya, diikuti
anak-anak yang lain. Martin jadi merasa seperti artis terkenal yang sedang
berada di tengah penggemarnya.
Tiba-tiba seorang gadis kecil berkucir dua
menggerak-gerakkan tangannya seolah meminta teman-temannya untuk mundur dan
berbaris dengan tertib. Kemudian tangan-tangan mungil itu terulur dan Martin
menyambutnya dengan hangat. Ia memperkenalkan dirinya dengan hangat dan
bersahabat.
Hingga tiba saat Melina mengenalkan Martin
kepada lelaki lain di ruangan itu. Senyum Martin pudar seketika. Ia menatap
tajam ke arah lelaki itu seakan ingin menegaskan bahwa Melina adalah miliknya
seorang. Sebagai basa-basi, Martin menjabat tangan lelaki itu lalu menyebutkan
namanya dengan malas.
Hati Martin bersorak saat mendengar lelaki
itu berpamitan setelah mengangkat lengannya dan melihat jam tangan yang
melingkar di sana. Bahkan cara lelaki itu melihat jam tampak begitu elegan dan
mampu mempesona gadis mana pun yang melihatnya. Dan Martin berharap Melina
tidak termasuk dalam gadis yang terpesona itu.
“Bagaimana menurutmu lelaki itu?”
Martin mengangkat alisnya dengan gusar.
Saat ini mereka sedang berjalan di tepi halaman yang ada di panti asuhan ini.
Anak-anak kecil yang tadi tampak bahagia saat menyanyi diiringi piano, kini
sedang berlari dan bersenda gurau di atas rumput.
“Aku mengagumi lelaki itu, kau tahu? Dia yang
mengajariku bermain piano—”
Hentikan.
“Usianya masih muda tapi dia memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap sesamanya. Dia yang mengenalkanku pada panti
asuhan ini.“
Aku
mohon, Melina. Hentikan.
“Aku kagum pada kepeduliannya. Tapi malang
sekali nasibnya, kekasihnya harus pergi—“
“Tolong berhenti membicarakan lelaki itu.”
Martin menyela dengan nada ketus.
Melina menatap wajah Martin. Alisnya
berkerut karena bingung. “Apa maksud—“
“Kau boleh membicarakan apapun asal jangan
membicarakan lelaki itu.” Martin berkata lagi dengan cepat seakan tidak ingin
dibantah. Api cemburu benar-benar membuat darahnya mendidih. Ia tidak ingin
mendengar gadis ini memuji-muji lelaki lain.
Melina masih terdiam tidak berkata apa-apa
untuk membalas kata-kata Martin. Ia merasa takut untuk membuka mulut. Takut
salah bicara.
Diam-diam Martin melirik sedikit ke arah
Melina yang tampak sedikit canggung. Tentu saja Martin tidak ingin suasana
seperti ini terus berlanjut. Ia harus berusaha untuk mengembalikan suasana
akrab di antara mereka berdua.
“Apa kau mau datang bersamaku ke
pernikahan sahabatku minggu depan?” tanya Martin mencoba membuka topik obrolan
baru di antara mereka. “Mungkin kau bisa menyumbang satu atau dua lagu sambil
bermain piano di sana.”
***
“Martin, menurutmu aku akan lebih cantik
mengenakan gaun ini atau ini?”
Melina menanyakan pendapat Martin sambil
menggenggam hanger di kedua tangannya. Tangan kirinya menggenggam hanger yang
tergantung sebuah sheath dress berwarna hitam. Gaun itu akan
menempel ketat dan menunjukkan dengan jelas lekuk tubuh pemakainya. Sementara di
tangan kanannya tergantung bubble dress
berwarna merah gelap dengan rok yang menggelembung.
Martin tampak merenung untuk
menimbang-nimbang. Lelaki itu memandang bergantian ke arah dua gaun itu sebelum
akhirnya menjawab, “Terserah kau saja.”
Melina mengerutkan keningnya sambil membiarkan
mulutnya sedikit terbuka. Jika Melina bisa menentukan semudah itu, ia tidak
akan menanyakan pendapat pribadi lelaki itu. Ia sangat berharap Martin bisa
membantunya untuk memutuskan. Tapi yang ia dapatkan hanya jawaban terserah.
Sebenarnya Martin sendiri tidak peduli
pada pakaian apa yang akan dikenakan Melina. Gadis itu akan selalu tampak
cantik di matanya. Yang penting adalah Melina akan berdandan cantik untuk
Martin. Bukan untuk lelaki sialan di panti asuhan. Bukan untuk lelaki manapun
selain Martin.
Hubungan Martin dan Melina semakin
terjalin sejak pertemuan mereka kembali setelah sekian lama. Mereka sering
menghabiskan waktu bersama walaupun tidak lagi menangkap capung ataupun bermain
di kubangan lumpur. Sekarang mereka lebih sering pergi ke panti asuhan, makan
siang bersama, menonton film di bioskop, membicarakan kejadian konyol di masa
kecil mereka, atau sekedar duduk berdua dan Melina akan bernyanyi sambil
bermain gitar.
Martin sangat menikmati saat-saat itu. Ia
bahagia berada di dekat Melina. Ia merasa senang mendengar gadis itu menyanyi
dan memainkan melodi cantik untuk telinga Martin. Dan ia senang Melina tidak
pernah membicarakan lelaki lain di hadapannya.
Martin ingin menjadikan Melina miliknya
seorang.
“Ayolah, bantu aku memilih.” Suara Melina
menyadarkan Martin dari lamunannya. Gadis itu tampak menempelkan gaun-gaun di
tangannya ke tubuhnya secara bergantian di hadapan cermin. “Aku harus tampil
cantik di pesta pernikahan sahabatmu. Karena aku datang sebagai pasanganmu.”
Pasangan? Ah— benar juga. Mereka akan datang berdua ke pesta
pernikahan itu. Sebagai pasangan di hari itu. Tapi Martin ingin menjadi
pasangan Melina seumur hidupnya. Mungkinkah Melina merasakan apa yang
dirasakannya?
“Kenapa kau tidak membeli dua-duanya
saja?”
Melina memutar bola matanya. “Jangan coba-coba
mengajariku untuk boros, Martin.”
“Itu tidak boros. Kau bisa mengenakan gaun
yang satu untuk pergi makan malam denganku, misalnya.”
Melina melemparkan pandangan heran ke arah
Martin. “Aku tidak yakin kau punya waktu untuk mengajakku makan malam.”
“Kenapa kau tidak yakin?”
Melina tidak menjawab. Ia hanya menatap
Martin sejenak seakan menandakan bahwa Martin seharusnya tahu alasannya.
Bukankah lelaki itu selalu dikelilingi banyak gadis cantik?
Tapi Martin sungguh tidak tahu. Sehingga
lelaki itu hanya mampu menatap bingung ke arah Melina. Hingga ia menyadari satu
kemungkinan. Oh—
mungkinkah Melina bermaksud memberikan tanda bahwa ia mencintai lelaki lain?
Itu. Tidak. Boleh. Terjadi.
“Baiklah. Aku memilih bubble dress saja. Sepertinya aku memiliki sepatu yang serasi
dengan gaun ini.”
Martin keluar dari pikirannya saat
mendengar suara Melina. Tapi lelaki itu tidak benar-benar mendengar. Ia masih
sibuk mencari cara untuk menaklukkan hati Melina sebelum ada lelaki lain yang
melakukannya. Entah mengapa Martin sama sekali tidak dapat menemukan kata-kata
rayuan yang biasanya mengalir begitu saja saat berada di hadapan gadis-gadis.
Sialan
kau, Melina. Gadis itu
membuat otaknya beku dan lidahnya menjadi kelu.
“Martin?”
Martin mengangkat kepalanya dan
mengerutkan kening. “Ya, Melina?”
“Aku bilang, aku sudah selesai,” jawab
Melina sambil mengangkat kantung belanjaan berisi gaun yang baru saja
dibayarnya.
Martin menatap kantung kertas itu dengan kecewa.
“Kenapa kau tidak bilang? Aku bisa membelikannya untukmu.” Tadi Martin memang
ingin menunjukkan sedikit sikap gentleman-nya
dengan cara membayar gaun yang diinginkan Melina.
“Aku perhatikan akhir-akhir ini kau sering
melamun,” kata Melina tanpa menghiraukan kata-kata Martin. Mereka mulai berjalan
beriringan keluar dari toko di pusat perbelanjaan itu. “Apa ada yang mengganggumu?”
Martin mendengar suara gadis itu terdengar
khawatir. “Tidak ada. Aku hanya tidak percaya bisa bertemu kembali denganmu.”
“Benarkah?” Melina bertanya dengan
skeptis. “Bukan karena ada gadis —mungkin
kekasihmu— yang
cemburu melihat aku berada di dekatmu?”
Martin menggidikkan tubuhnya karena merasa
geli dengan kecurigaan Melina. “Tidak. Tidak ada gadis manapun. Hanya ada kau,
Melina,” kata Martin selembut mungkin. Tapi sepertinya gadis itu tidak
menyadari perasaan dalam kata-kata Martin.
“Syukurlah,” kata Melina lantas tertawa.
Ia tidak ingin dituduh sebagai perebut kekasih orang. “Bagaimana kalau sekarang
kita beli es krim sebelum pulang?”
***
Martin menghentikan mobilnya kemudian
turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Melina. Kaki jenjang gadis itu
keluar dari mobil dan menginjak jalanan. Kemudian disusul seluruh tubuhnya yang
keluar dari mobil. Gadis itu berdiri di samping mobil sementara Martin menutup
pintu mobil. Sebenarnya Melina bisa melakukan semua itu sendiri tapi Martin
memintanya seperti itu entah untuk alasan apa.
“Kenapa kau suka melakukan hal-hal yang
merepotkan seperti itu?”
“Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin
menjadi pangeran yang memperlakukan seorang gadis bak seorang putri.”
Tanpa dinyana, pipi Melina sedikit merona
mendengar kata-kata Martin. Tapi dengan cepat ia sadar bahwa tidak hanya
dirinya yang diperlakukan begitu manis oleh lelaki ini. Mungkin ia harus
sedikit berhati-hati agar tidak tergoda.
“Terima kasih untuk hari ini, Martin,”
ujar Melina sambil menyelipakan rambut ke balik telinga. “Terima kasih untuk
semuanya. Saat-saat bersamamu selalu terasa menyenangkan.”
Tapi Martin tidak menjawab. Lagi-lagi
lelaki itu melamun. Bahkan lelaki itu tetap diam saat Melina pergi
meninggalkannya. Sehingga Melina memutuskan bahwa lelaki itu perlu waktu untuk
memikirkan sesuatu. Tapi ketika Melina sudah berdiri di ambang pintu, lelaki
itu memanggilnya.
“Melina?”
Melina menolehkan kepalanya sambil
mengerutkan keningnya. “Ya?”
Martin berdiri di sana, tampak begitu
tampan seperti pangeran sempurna dari negeri dongeng. Tangannya bersedekap dan
tubuhnya sedikit bersandar ke mobil. Sejenak ia memejamkan mata lalu menarik
napas dalam. Detik berikutnya, bibir lelaki itu mengucapkan kata-kata yang
mengejutkan.
“Melina, aku rasa aku jatuh cinta padamu.”
***
Suasana pesta hari itu tampak begitu ramai
dan semua orang tampak berbaur satu sama lain. Pesta pernikahan ini menjadi
pesta pernikahan paling meriah yang pernah didatangi Melina. Jamuan makan yang
melimpah dan ditata elegan di setiap sudut ruangan. Dekorasi serba putih yang menambah
kesan mewah. Sebuah kue pengantin bertingkat dihiasi krim berwarna putih dengan
hiasan berupa patung kecil sepasang pengantin di tingkat paling atas. Foto-foto
pre-wedding dipajang dalam
bingkai-bingkai putih. Kedua pasangan itu tampak bahagia berfoto di tepi pantai
yang menjadi tempat pertemuan mereka.
Dan sepasang pengantin yang menjadi tokoh
utama di cara ini tampak serasi dengan pakaian pengantin serba putih. Mereka
berdampingan di atas panggung menyambut para tamu untuk berjabat tangan dan
berfoto bersama.
Melina melangkah dengan sangat hati-hati
saat turun dari panggung pengantin. Saat ini ia tengah mengamit lengan Martin
yang menuntunnya ke arah piano putih yang ada di sayap kiri ruangan ini. tadi
saat di panggung, Martin meminta izin kepada kedua mempelai untuk Melina
memainkan satu lagu. Dan mereka dengan senang hati mengizinkan Melina
menggunakan piano itu.
Musik pengiring berhenti atas satu komando
saat Melina duduk dengan anggunnya di depan piano. Gadis itu membuat duduknya
senyaman mungkin baru kemudian membuka penutup tuts. Melina mengembuskan napas
perlahan lalu bunyi dentingan piano yang lembut mulai terdengar. Kemudian suara
lembut Melina juga mengalunkan nyanyian penuh perasaan. Sebuah lagi dari band Maroon 5.
♪ We were just wasting time...
For my whole life... ♬
We never crossed the line... ♪
♬ Only
friends in my mind..
But now I realize... ♬
It was always you... ♪
♬ Can’t
believe I could not see it all this time..
♪ All this time..
It was always you.. ♬
Melina menyanyikan lagu itu sambil menatap ke arah Martin yang tengah
berdiri di tengah ruangan. Lelaki itu tampak begitu tampan dan mempesona,
dengan rambut yang disisir rapi dan tuksedo hitam yang membalut postur tubuhnya
yang tegap. Bahkan Martin berpuluh kali lebih tampan daripada pengantin pria di
pesta ini.
Dan Melina sudah memutuskan untuk membalas pernyataan cinta Martin malam
itu.
Martin mendengarkan setiap alunan melodi yang dimainkan Melina. Matanya
tidak bisa lepas dari sosok gadis itu. Melina tampak luar biasa cantik dengan bubble dress merah gelap yang semakin
menonjolkan kulitnya yang halus. Rambut panjang bergelombangnya dibiarkan
terurai menutupi punggung. Dan sekarang gadis itu tengah memainkan piano dengan
cantiknya, membuat banyak mata memperhatikan gadis itu.
Tiba-tiba Martin merasa gelisah. Ia merasa takut akan ada lelaki yang
mencoba untuk menarik perhatian Melina. Entah mengapa, Martin berharap gadis
itu cepat menyelesaikan lagunya dan turun dari sana. Kembali ke pelukan Martin.
Ketika alunan nada yang dimainkan gadis itu akhirnya berhenti, Martin
langsung bertepuk tangan. Tepuk tangan itu memecah suasana dan membawa tepuk
tangan berikutnya yang susul menyusul sehingga suasana ruangan itu menjadi riuh
rendah karena suara tepuk tangan yang membahana.
Cepat-cepat Martin mendekat ke arah panggung rendah itu untuk menjemput gadisnya. Melina membungkukkan
tubuhnya sejenak sebagai ungkapan terima kasih sebelum akhirnya Martin
mengulurkan tangannya membantu gadis itu turun dari panggung. Martin melingkarkan
lengannya di pinggang Melina dengan begitu intim untuk mengklaim gadis itu
sebagai miliknya di hadapan banyak orang. Supaya tidak ada satu pun lelaki yang
mencoba merebut gadis ini dari sisinya.
“Kau benar-benar hebat,” bisik Martin di telinga Melina. Mereka berdua
berdiri berhadapan di sudut ruangan yang tidak mencolok. Saat ini semua
perhatian orang tengah kembali terarah pada pengantin di atas panggung.
“Terima kasih,” balas Melina sambil tersipu. Wajahnya masih merona merah sejak
Martin memeluk erat pinggangnya tadi. “Dan jawaban untuk pernyataan cintamu
malam itu... aku rasa... aku juga mencintaimu Martin.”
Bibir Martin melengkung ke bawah tanda
kecewa. Ia tidak pernah ditolak oleh seorang gadis sebelumnya— tunggu dulu. Apa katanya tadi?
“Apa?”
Melina menggigit bibirnya dengan gugup
sebelum mengulang kata-katanya. “Aku mencintaimu, Martin.”
Apakah
benar ini sebuah pernyataan cinta? Lelaki mana yang jantungnya tidak berdegup ganda saat gadis yang
dicintainya membalas perasaannya. Martin sendiri merasakan debaran jantungnya
yang semakin cepat. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak tahu harus
mengatakan apa.
“Lalu? Bagaimana dengan lelaki itu?”
Martin tampak kebingungan untuk berkata-kata. “Lelaki yang selalu kau tatap
penuh kasih. Lelaki di panti asuhan itu—”
Melina tergelak saat menyadari siapa
lelaki yang dimaksud Martin. “Itu tidak seperti yang kau lihat, Martin. Aku
hanya mengaguminya. Tidak lebih.”
Martin tidak mengatakan apa-apa. Wajah
tampannya tampak sedikit pucat mendengar jawaban Melina. Mana mungkin ia salah
membaca keadaan. Benar-benar memalukan.
“Sebenarnya, aku sudah berada di kota ini
hampir satu tahun. Selama itu aku sering membantu lelaki itu di panti asuhan
miliknya. Dia memiliki seorang kekasih yang sangat cantik dan sangat mengerti
tentang sepatu-sepatu cantik. Aku jadi banyak belajar darinya. Mereka
benar-benar pasangan yang menyenangkan.” Tiba-tiba ekspresi dan nada bicara
Melina berubah sedih. “Sayangnya, maut merenggut kekasih itu lebih dahulu.’’
“Oh— sampaikan dukaku untuknya,” kata Martin dengan
wajah masam. Ia merasa bersalah karena sudah berpikiran buruk terhadap lelaki
itu.
“Dan apa kau tahu alasanku kembali ke kota
ini setelah sekian lama?”
Martin menggelengkan kepalanya. Ia memang
tidak tahu apa alasannya.
“Untuk bertemu denganmu,” ujar Melina
sambil menekan telunjuknya kuat-kuat ke dada kiri Martin.
Apa? Martin terpana. Matanya terbelalak seakan
tidak percaya dengan apa yang didengar indra pendengarnya.
“Lalu, kenapa kau tidak langsung menemuiku?
Aku rasa tidak sulit untuk menemukanku.”
“Memang tidak sulit. Aku menemukanmu di
hari kedua aku menginjakkan kakiku di kota ini,” jawab Melina sambil menatap
dalam ke mata Martin. “Tapi yang aku lihat saat itu kau selalu dikelilingi oelh
gadis-gadis cantik dengan pakaian modis, membuat aku tidak berani menampakkan
diri di hadapanmu. Sehingga aku memutuskan untuk mengubah penampilanku sebelum
akhirnya menemuimu. Aku ingin membuatmu terkesan. Sayangnya, pertemuan kita
diwarnai dengan insiden terpeleset di atas jalan yang basah.” Wajah Melina
memerah saat mengingat kejadian itu. Benar-benar memalukan.
Martin kembali membelalakkan matanya. Ia
tidak menyangka bahwa dugaannya selama ini salah. Jadi, Melina kembali ke kota
ini demi dirinya? Dan Melina berubah
demi dirinya?
“Tapi sempat bingung saat mendengar kau
berkata bahwa penampilan ini tidak cocok untukku,” ujar Melina sambil
menundukkan kepalanya dengan sedih.
Martin maju satu langkah lalu merengkuh
Melina ke dalam pelukannya. Ia berbisik perlahan dan terdengar seperti melodi
cinta di telinga Melina.
“Seharusnya kau tidak perlu mengubah
apapun dari dirimu. Karena sejak lima belas tahun yang lalu aku sudah jatuh
cinta kepadamu yang apa adanya, Melina.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D